PAMEKASAN, Satunurani.com – Rabu, (22/10/2025). Penanganan kasus kekerasan seksual terhadap mahasiswi asal Kecamatan Balung, Kabupaten Jember, menuai kritik dari sejumlah organisasi perempuan dan mahasiswa. Tim advokasi yang terdiri dari LBH IKA PMII Jember, Kopri PMII Jember, PC Fatayat NU Jember, dan PMII Cabang Jember menilai lambannya respons kepolisian mencerminkan lemahnya penerapan standar operasional prosedur (SOP) dalam penanganan korban kekerasan seksual.
Ketua Korps PMII Putri (Kopri) Cabang Jember, Isna Asyaroh, menegaskan bahwa Polres Jember seharusnya mematuhi amanat Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2006 yang mengatur perlindungan maksimal bagi korban dan penegakan hukum terhadap pelaku. Namun, dalam praktiknya, aturan itu dinilai belum dijalankan dengan benar.
“Tugas polisi sudah jelas: melindungi korban dan menindak pelaku. Tapi faktanya, korban masih harus berjuang sendiri, sementara pelaku belum juga ditangkap,” ujarnya usai audiensi dengan Polres Jember, Selasa (21/10/2025).
Isna mengungkapkan, salah satu bentuk kelalaian aparat terlihat ketika korban harus menjemput sendiri surat pemeriksaan psikologinya ke Polsek.
“Itu seharusnya tugas polisi, bukan korban. Kejadian seperti ini menunjukkan kurangnya empati dan pemahaman terhadap kondisi psikologis korban kekerasan,” tegasnya.
Tim advokasi mendesak Polres Jember segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap SOP penanganan kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Mereka juga menuntut adanya pelatihan berperspektif gender bagi seluruh aparat kepolisian agar lebih peka terhadap korban.
“Penegakan hukum saja tidak cukup. Aparat juga harus punya perspektif kemanusiaan. Tanpa itu, keadilan bagi korban akan sulit terwujud,” tambah Isna.
Sementara itu, Ketua PC Fatayat NU Jember, Nurul Hidayah, menyoroti lemahnya peran aparat desa dalam tahap awal penanganan kasus. Ia menyebut, sebelum melapor ke polisi, korban sempat mengadu ke Kepala Desa, namun justru disarankan menyelesaikan masalah secara kekeluargaan dengan menikahi pelaku.
“Ini bukan penyelesaian, tapi pelecehan terhadap keadilan. Kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan dengan pernikahan,” tegas Nurul.
Nurul menilai, Polres Jember perlu memperkuat pemahaman penyidik di tingkat polsek karena tidak semua aparat memahami mekanisme penanganan korban kekerasan seksual. “Polsek Ledokombo bisa menunjukkan keberpihakan pada korban. Kalau mereka bisa, berarti semua juga bisa,” ujarnya.
Menanggapi desakan tersebut, Kasatreskrim Polres Jember, Angga Riatma, menyampaikan bahwa pihaknya telah mengambil alih penyidikan kasus dari Polsek Balung. Ia memastikan penyidik sudah memeriksa empat saksi dan terus memburu terduga pelaku.
“Kasus ini sudah kami naikkan ke tahap penyidikan. Kami serius menanganinya, dan korban akan diperiksa kembali setelah kondisinya stabil,” kata Angga.
Sementara Kapolres Jember, AKBP Bobby A. Candra Putra, menegaskan komitmennya untuk menuntaskan kasus tersebut secara transparan.
“Kami tangani dengan serius. Mudah-mudahan pelaku bisa kami tangkap hari ini atau besok,” ujarnya.
Tim advokasi berencana terus mengawal perkembangan kasus ini hingga korban mendapatkan keadilan dan aparat penegak hukum memperbaiki tata kelola penanganan kasus kekerasan seksual di Jember. (Saiful Rahman)