JEMBER, Satunurani.com – Kamis, (15/05/2025). Hubungan antara Wakil Bupati Jember Djoko Susanto dan Kepala Desa Sidomulyo, Kamiludin, memanas usai kunjungan mendadak Wabup ke kantor desa setempat, Rabu (14/05/2025). Sidak tersebut awalnya dilakukan usai agenda panen dan petik kopi di wilayah Kecamatan Silo. Namun, yang mengemuka justru bukan hasil sidaknya—melainkan respons pedas dari sang Kades yang terkesan mempertanyakan kapasitas Djoko Susanto.
Kepada media, Kamiludin melontarkan sindiran keras. Ia bahkan bertanya apakah kedatangan Wabup ke kantor desa itu dalam kapasitas pribadi atau sebagai pejabat.
“Djoko itu datang sebagai pribadi atau sebagai pejabat? Kalau pribadi, ya harus izin dulu sama tuan rumah, yaitu Kepala Desa,” ucapnya dengan nada tajam.
Kamiludin bahkan menambahkan, “Kalau sebagai wakil bupati, sidaknya apa? Sudah ada delegasi dari bupati belum?” Sebuah pernyataan yang secara tersirat menyangsikan legalitas moral dan administratif dari langkah Djoko Susanto.
Namun, dari kacamata pemerintahan dan hukum, kritik semacam ini justru patut dipertanyakan. Wakil bupati adalah pejabat negara yang secara yuridis memiliki wewenang menjalankan sebagian tugas kepala daerah, termasuk melakukan pengawasan langsung ke bawah.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 66 menyebutkan bahwa Wakil Kepala Daerah mempunyai tugas membantu Kepala Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, termasuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat daerah. Ini termasuk juga menyentuh aspek desa sebagai bagian dari pemerintahan paling bawah.
“Pemimpin itu bukan juragan, pemimpin itu mendampingi masyarakat berproses,” tegas Djoko usai kunjungan itu, dengan nada kecewa karena tak menemukan kepala desa saat jam kerja.
Menurut informasi yang diterima Wabup, Kades tengah berada di wilayah Gapura bersama Sekdes untuk meninjau jalan. Meski begitu, tak ada tanda koordinasi atau pemberitahuan sebelumnya yang disampaikan ke kantor kecamatan atau pihak kabupaten.
Djoko sendiri mengaku sengaja mampir karena sudah berada di desa tersebut untuk menghadiri acara masyarakat. Ia menilai kantor desa secara fisik cukup baik dan pelayanan diklaim lancar. Namun, yang membuatnya terkesan adalah media center yang menggunakan perangkat cukup modern.
“Media centernya canggih, lebih lengkap dari ruang kerja saya,” ujarnya, sambil menyindir bahwa transparansi publik harus lebih ditingkatkan, bukan hanya sekadar tampilan data.
Perseteruan ini membuka ruang diskusi lebih luas tentang bagaimana relasi antara pejabat kabupaten dan pemerintah desa dibangun. Apakah kepala desa saat ini masih memahami dirinya sebagai bagian dari sistem pemerintahan daerah? Atau justru mulai merasa lebih tinggi dari struktur formal?
Yang jelas, kapasitas seorang Wabup untuk melakukan sidak bukan hanya sah secara hukum, tapi juga merupakan bagian dari tugas konstitusionalnya. Menyambut kunjungan pejabat kabupaten seharusnya bukan dipandang sebagai intervensi, melainkan bentuk perhatian terhadap pelayanan publik di tingkat akar rumput.
Jika pemimpin desa mulai merasa bahwa kunjungan wakil bupati harus “izin dulu,” maka ini bukan hanya soal etika, tapi bisa jadi soal ego birokrasi yang melampaui batas. (Saiful Rahman)